Inti Ibadah Ramadan

Di antara empat paket ibadah Ramadan, taqarrub kepada Allah tampaknya adalah inti dari tiga yang lain: puasa, tadarus, dan i’tikaf. Pada ayat 186 ditegaskan bahwa taqarrub itu menjadi  wasilah menuju kebenaran. Kebenaran dalam hidup adalah buah dari taqarrub  kepada Tuhan. Kebenaran dalam hidup tidak semata-mata ditentukan oleh status sosial dan tingkat pendidikan, tetapi oleh seberapa dekat seseorang dengan Tuhannya. Itulah paling tidak yang dapat kita pahami dari ayat 186 al-Baqarah.

Ayat 186  Al-Baqarah memang diturunkan sebagai respon dari peristiwa dialog antara Nabi dengan orang Badui, seperti dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, pakar tafsir dan fikih dari Suriah dengan mengutip riwayat dari Muawiyah. Meski suatu ayat turun untuk merespon sebuah peristiwa (sabab nuzul), namun khithab  dari sebuah ayat tetap bersifat general. Dalam tafsir dikenal suatu formula “al-‘ibratu bi ‘umum al-lafz laa bi khushsus as-sabab”  (Yang diperhitungkan adalah keumuman lafaz ayat bukan kekhususan sebab turunnya. Dengan demikian, ayat 186 tersebut berlaku bagi semua manusia.

Dengan menghayati ayat 186 tersebut, mungkin benar apa yang dijalankan oleh Hujjatul Islam Imam al-Gazali dalam proses pencarian spiritualnya, bahwa setelah rasio dan akal, perasaan dan intuisilah satu-satunya sumber kebenaran, atau lebih tepat dikatakan sebagai jalan menuju perolehan terhadap kebenaran, dan itulah makrifat. Perasaan dan intuisi batin yang didapat dalam ibadah dan tafakkur menjadi penerang dan obor menjalani remangnya kehidupan

Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa setelah menekuni teologi dan filsafat, Al-Gazali menulis tasawuf. Nama kitabnya yang sangat masyhur adalah Ihya ‘ulum al-din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama). Mungkin dalam pikiran Al-Gazali, di eranya, ilmu-ilmu agama sedang menuju kematian karena kering dari ruh spiritualnya. Dalam Ihya, Al-Gazali sangat vulgar membahas soal-soal fikih yang dibungkus (dihidupkan) dengan siraman nuansa sufi.  Kalau kita perhatikan narasi yang digunakan dalam Ihya, saat membahas materi fikih, Al-Gazali selalu mesnyisipkan kata asrar. Asrar dapat diterjemahkan sebagai rahasia, suatu yang terpendam namun menjadi  inti dan sangat penting. Dalam bab soal bersuci, Dia menulis “Kitab Asrar ath-Thaharah” (Kitab Rahasia Bersuci), dan seterusnya.

Taqarrub  adalah proses yang terus menerus, latihan jiwa yang istiqamah untuk merasakan kedekatan Tuhan dalam hidupnya. Media yang digunakan terutama adaah ibadah ritual. Tujuan akhirnya adalah bahwa Tuhan benar-benar dirasakan hadir dalam hidupnya. Kehadiran Tuhan itulah yang menjadi cahaya penunjuk jalan di tengah kegelapan dunia. Dunia yang yang bersifat berkarakter bias dan relatif (la’ibun wa lahwun) tidak akan dapat dijalani dengan benar tanpa keterlibatan petunjuk dari Tuhan. Instrumen fisik panca indera yang dihubungkan dengan akal dan nafsu cenderung menipu. Tentang pentingnya taqarrub ini Tuhan berfirman dalam hadits qudsi yang artinya:

Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya. (HR Bukhari).

Firman Tuhan dalam hadits tersebut sangat gamblang menyatakan bahwa Tuhan akan menjadi telinga, mata, tangan, dan kaki hambanya yang dekat kepada-Nya, sehingga pendengaran, penglihatan, pekerjaan, dan langkah hidupnya menjadi terbimbing oleh Tuhan.

Tuhan memang tidak berjarak dengan manusia (lihat antara lain An-Nisa: 126 dan Qaaf: 16). Penggambaran ketidakberjarakan itu tidak dapat diwadahi oleh kata-kata, tidak ada kata yang tepat untuk  menggambarkannya, karena Tuhan bukanlah materi. Satuan jarak hanya untuk mengukur antar benda yang berbentuk materi. Meski demikian, para teoritikus tasawuf mencoba membuat term, seperti wahdat al-wujud (kesatuan wujud) Ibnu ‘Arabi sufi dari Andalusia (w. 638 H), ittihad (kesatuan) Abu Yazid al-Bisthami, sufi dari Persia (w. 261 H), dan hulul (kebertempatan) sufi Persia (w. 309). Namun semua term itu tetap tidak tepat dan oleh karenanya menimbulkan “kegaduhan” dalam padepokan kajian teologi.

Karena Tuhan bersifat metafisik, kedekatan dengan-Nya hanya akan dapat dirasakan dalam ibadah dan zikir. Dalam taqarrub, rasio dan akal lebih ditempatkan di belakang perasaan. Saat manusia sudah merasakan dekat dengan Tuhan, lahirlah prilaku mulia dalam hidup yang disebut dengan akhlakul karimah. Dengan ini kita dapat mengerti mengapa kata akhlak (prilaku) dan Khaliq (Pencipta/Tuhan) adalah dua varian kata yang bersumber (musytaq) dari akar yang sama, “khalaqa”.

Selamat Ramadan, selamat berpuasa dan bertaqarrub kepada Tuhan.