Manusia Mulia

Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag

Essai ini seharusnya saya tulis saat ramadan baru berakhir dan bulan Syawwal belum pupus, tepatnya saat kesemarakan tradisi syawalan  atau halal bi halal muslimin tanah air. Namun dari pada tidak, maka tetap saya tulis saat ini, 8 Zul Qa’dah 1445 H. Tema ini juga sudah saya sampaikan saat megisi kuliah subuh Pro 1 RRI Banjarmasin, 6 Mei 2024 (

).

Konsep kemuliaan dan keistemewaan manusia telah masyhur dalam sejarah dan dalam berbagai narasi kitab suci. Yuval Noah Harari, Professor sejarah, dengan sangat lengkap dan memukau telah menjelaskan keunggulan manusia dari makhluk manapun. Dalam dua bukunya yang sangat popular “Sapiens, a Brief History of Humankind”  dan “Homo Deus” dia jelaskan evolusi manusia dari awal hingga sekarang (buku satu) dan prediksi prestasi menakjubkan manusia di masa depan (buku dua). Pada buku satu, dia jelaskan evolusi manusia dari berburu/meramu menuju pertanian, kemudian kemampuan menciptakan mesin industri, penemuan minyak dan energi listrik,  internet, hingga kemampuan menyatukan ruang melalui teknologi digital. Pada buku  dua, ia jelaskan bahwa kemungkinan manusia masa depan akan mampu meningkatkan ketahanan  hidup (fisik) hingga berkali lipat dari manusia sekarang. Percaya atau tidak, soal kematian pun, katanya, bisa jadi akan dapat ditunda melalui kecanggihan teknologi “revarasi” organ tubuh vital yang menjadi penyebab umumnya kematian.

Dalam kitab suci, Al-Quran, misalnya pada ayat  70 surah Al-Isra (17), Tuhan menegaskan dengan sangat jelas bahwa “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”

Melalui renungan dua buku Harari dan satu ayat Al-Quran tersebut, kita harus melihat kemuliaan dan keunggulan manusia dan oleh karenanya kita harus menaruh hormat kepada manusia dari manapun dan suku serta agama dan jabatan apapun yang dianutnya. Inilah basis silaturahmi. Substansi manusia adalah sama  meski secara penampakan kulit, terlihat berbeda. Manusia sama sekaligus berbeda, atau berbeda sekaligus sama.

Satu ayat lain yang juga patut menjadi  renungan, yaitu ayat 13 surah Al-Hujurat (49), Allah menjelaskan “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti”. Ayat ini jelas sekali bahwa kemuliaan seseorang adalah kualitas batinnya. Namun siapa yang dapat mengetahui kualitas batin seseorang, tidak ada kecuali Allah Rabbunnas. Jadi, akhirnya kualitas seseorang itu tidak ada yang tahu kecuali Tuhan dan mungkin  juga dirinya sendiri.

Penilaian, sikap, dan tindakan kita terhadap sesama manusia sering kali didasarkan atas hal-hal yang bersifat lahir belaka, namun itulah yang paling nampak dalam pandangan mata. Kekayaan, fasilitas, pangkat, jabatan, kecantikan, dan sejumlah aspek lahiriyah belaka.  Ceritera Nasruddin Hoja, seorang sufi era Kesultanan Saljuk abad ke-13 yang “konyol” berteriak di keramaian pesta walimah orang kaya dengan hidangan super VVIPP menjadi cermin. Mulanya dengan pakaian lusuh, Nasruddin  mendatangi ruang pesta VVIPP. Langsung saja penjaga tamu mengusirnya. Berselang beberapa saat, dia datang lagi ke tempat yang sama dengan pakaian mewah, wewangian yang harum, dan tentu penjaga tamu mempersilahkan dengan lembut untuk masuk ruang makan VVIPP.  Nasruddin pun berolah tingkah, dia berteriak sambil melepas pakaiannya. “Hai pakaianku silahkan kau duduk dan makan, karena sesungguhnya yang diizinkan untuk masuk ruang pesta dan makan yang enak adalah kau”.

Dengan persepasi yang benar terhadap sesama manusia, dengan semangat silaturrahmi, mari saling menghargai demi menjaga harmoni.