Perkuat Kerjasama, Dosen FEBI Visiting Lecturer di UGM Malaysia

Kuala Lumpur Malaysia, 21 Agustus 2024 – Tiga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Antasari Banjarmasin, Difi Dahliana, S.E.I, M.E.I., Elida Mahriani, S.E.I, M.M., dan Annisa Mahfuzah S.E.I, M.H., melaksanakan kegiatan Visiting Lecturer di Universiti Geomatika Malaysia (UGM).

Sebagai pembuka, Prof. Datuk. Sr. Dr. Mohaizi bin Mohamad, selaku Founder dan President Universiti Geomatika Malaysia tentang bagaimana perguruan tinggiberadaptasi dan berkembang dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks dan tidak menentu melalui pendekatan manajemen VUCA. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi Visiting Lecture oleh Tim Dosen FEBI UIN Antasari. Mahasiswa Universitas Geomatika yang menghadiri Visiting lecture ada yang berasal dari Malaysia, Indonesia, Nigeria, Pakistan, dan Mesir.

Kegiatan visiting lecture ini merupakan salah satu agenda dalam rangkaian Inbound Mobility Engagement Program. Perlu diketahui bahwa UGM tidak hanya berfokus pada bidang geomatika saja. UGM juga memiliki fakultas yang menawarkan program studi di bidang bisnis dan manajemen yaitu IQRA Business School. UGM juga concern terhadap perkembangan industri halal. Melalui pendidikan dan penelitian yang berfokus pada teknologi, manajemen, dan pemasaran halal, UGM dapat berkontribusi dalam mengembangkan solusi inovatif untuk tantangan yang dihadapi oleh industri halal.

Dalam kesempatan itu tim dosen FEBI menyampaikan materi mengenai industri halal. Diawali oleh Difi Dahliana yang menjelaskan perbedaan perkembangan industri halal di Indonesia dan Malaysia. Difi menyampaikan bahwa perkembangan industri halal di Malaysia memang lebih baik jika dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Malaysia menempati posisi pertama yang terbaik dalam pembangunan ekonomi halal menurut pemeringkatan SGIE (The State of Global Islamic Economy). Posisi ini diraih Malaysia selama 10 tahun berturut-turut, belum tergoyahkan. Sedangkan Indonesia berada di urutan ketiga setelah Saudi Arabia.

Malaysia sudah memiliki regulasi dan ekosistem industri halal yang matang dan terintegrasi dengan baik, yang mencakup seluruh rantai nilai dari produksi hingga distribusi, dan telah mendapat pengakuan internasional terhadap sertifikasi halal JAKIM. Sementara ekosistem industri halal di Indonesia masih dalam tahap pengembangan, dengan fokus yang kuat pada sertifikasi halal produk dalam negeri. Namun meskipun demikian Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan pasar halal yang sangat potensial, bahkan menurut SGIE Indonesia merupakan konsumen terbesar produk makanan halal di dunia dengan nilai konsumsi sebesar US$ 144 Miliar. 

Penyampaian materi dilanjutkan Annisa Mahfuzah tentang betapa pentingnya sertifikasi halal dan inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing di kancah internasional khususnya wilayah ASEAN. Persaingan produk halal tidak hanya terjadi antar negara muslim saja, ternyata prospek cerah industri halal juga menarik minat negara-negara non-muslim untuk ambil bagian di dalamnya, contohnya seperti Brazil dan Australia. Hal ini menjadi tantangan besar bagi produk halal Indonesia dan Malaysia untuk masuk ke pasar global, dan bahkan pasar ASEAN. Sejauh ini Malaysia telah berhasil memposisikan dirinya dalam jajaran eksportir utama produk halal, dimana produk makanan, minuman, kosmetik, dan farmasi dari Malaysia sangat diminati di pasar internasional.

Lalu bagaimana dengan produk UMKM dari Indonesia? Annisa menjelaskan bahwa untuk meningkatkan daya saing di kancah internasional, selain inovasi produk berstandar eksport, ditambah mengadopsi teknologi digital dalam produksi dan pemasaran, UMKM di Indonesia juga harus berani memposisikan dirinya “positioning” sebagai produsen produk halal, antara lain diwujudkan melalui sertifikasi dan labelisasi halal yang diterima secara internasional. Sertifikat halal menjadi bukti legal bahwa produk telah sesuai dengan syariat Islam, halal dan thayyib. Sertifikat halal yang diterima secara internasional akan mempermudah ekspor produk untuk memasuki pasar negara-negara mayoritas muslim di kawasan ASEAN dan seluruh dunia.

Pada penyampaian materi terakhir, Elida Mahriani mengajak mahasiswa berdiskusi tentang strategi globalisasi industri halal di Indonesia.

Akhir-akhir ini semarak pengembangan Industri halal digaungkan pada tingkat dunia termasuk di Indonesia. Hadir dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, menjadikan negara Indonesia sebagai wilayah yang potensial untuk pengembangan industri halal.

Elida menyebutkan agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal, perlu dilakukan strategi pengembangan yang tepat. Di mana strategi pengembangan dapat dilakukan dengan berfokus pada enam hal. Pertama, perluasan hubungan dagang; strategi ini bertujuan agar tercipta hubungan internasional dan produksi produk halal dunia. Kedua, UMKM yang berdaya saing; strategi ini untuk menciptakan UMKM berkualitas unggul yang dapat menghasilkan produk halal berstandar Internasional dan keberlangsungan usaha dengan konsep keuangan syariah. Ketiga, Industrialisasi produk halal; strategi yang dilakukan untuk mencipatkan kawasan industri halal dengan keberlangsungan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas serta peningkatan kualitas SDM unggul.

Keempat, Riset halal yang mendukung industri; strategi ini mengembangkan riset bahan-bahan pengganti non halal serta peningkatan halal awareness kepada Masyarakat. Kelima, preferensi halal dengan pendekatan sosial kemasyarakatan; Startegi peningkatan ini menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan dan social engineering. Terakhir, dukungan regulasi; Strategi penguatan regulasi dan kebijakan terhadap pengembangan ekonomi syariah dan industri halal. (EL/MY)