Hidup Bagai Mimpi

Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag.

Menyambut tahun baru sebenarnya adalah bagian dari perenungan soal waktu. Menarik kalau kita mencoba mencari jawaban dari pertanyaan, “waktu itu apa sebenarnya”. Secara awam, waktu adalah perjalanan planet bumi berputar mengelilingi matahari. Oleh karena bersama bumi ada planet (bulan) yang berputar mengelilingi bumi, dan bersama bumi mengelilingi matahari, maka sistem waktu di bumi sebenarnya ada dua, sistem berbasis matahari yang dikelilingi bumi (syamsiyah) dan sistem bulan yang mengelilingi bumi (qamariah).  Jumlah hari dalam dua sistem berbeda. Syamsiyah adalah 365,25, sedangkan dalam sistem qamariayah jumlah hari dalam setahun berkurang sekitar 11 hari, yaitu 354, 36708 hari. Tidak salah bila dikatakan, waktu adalah perjalanan hidup kita di dunia ini.

Waktu dengan sistem matahari, dalam sejarah start perhitungan tahunnya dimulai dari kelahiran Yesus (al-masih) dengan nama-nama bulan yang diambil dari nama raja dan dewa yang mereka hormati, sedangkan sistem bulan start awal perhitungan tahunnya dimulai dari hijrah Nabi dengan nama-nama bulan yang sesuai musim, dan sebagiandari nama-nama itu  telah disebut dalam Al-Quran, seperti Ramadan. Kedua sistem waktu ini begitu penting dalam Islam, sehingga menjadi penanda ibadah ritual. Misalnya untuk menentukan waktu shalat, system matahari yang digunakan, tetapi dalam hal awal puasa dan penentuan dua hari raya, sistem bulan yang dipergunakan.

Al-Quran mengemas waktu dalam berbagai narasi. Bukan hanya berbasis matahari dan bulan, ternyata bintang juga menjadi objek sumpah Allah terkait waktu, mungkin untuk menunjukkan relativitas waktu, terutama saat berceritera tentang mi’raj (baca surah an-Najm/53). Peristiwa isra dan mi’raj bila dilihat dari perspektif waktu matahari atau bulan sangat terkesan sebagai peristiwa tidak masuk akal. Itulah mengapa Abu Jahal dan kawan-kawan langsung mendustakannya. Namun bila dilihat dari konsep “waktu berbasis bintang”, dan relativitas waktu, maka peristiwa itu menjadi hal yang rasional.

Terkait waktu system matahari ada narasi  wa al-syamsi (demi matahari), wa al-laili (demi malam), wa al-fajri (demi fajar), wa al-duha (demi matahari pagi), wa al-nahari (demi siang), dan wa al-‘ashri (demi waktu/asar). Terkait bulan,  Allah menegaskan wa al-qamari (demi bulan) dan seterusnya.

Al-Baqarah ayat 28 mungkin patut menjadi renungan kita dalam menyikapi perputaran waktu. Ayat tersebut menegaskan bahwasanya kita berada dalam lima rentang waktu. Empat dari rentang itu kita tidak dapat menghitung panjangnya, mungkin amat panjang. Hanya satu fase (fase kedua) yang kita dapat menghitungnya, meski tidak kuasa menentukan awal dan akhirnya, yakni kehidupan yang diakhiri dengan kematian di dunia ini.  Ayat 28 tersebut menggambarkan tentang keberadaan kita dalam lima fase keberadaan/kehidupan. Pertama saat kita berada dalam ketiadaan (sebelum dilahirkan). Kedua saat kita diberi kesempatan dalam kehidupan dunia. Ketiga saat kita berada dalam alam barzakh (pasca kematian hingga kiamat ditegakkan). Keempat saat kita dalam proses pengadilan di padang  makhsyar. Kelima saat kita menerima balasan abadi dalam sorga atau neraka.

Kalau kita renungkan betapa panjangnya empat fase keberadaan kita di banding fase kehidupan dunia, maka sangat wajar bila kita mengatakan “hidup bagaikan mimpi” dalam tidur yang panjang. Mimpi kadang membawa kesenangan dan kebahagiaan meski juga sering membawa kegelisahan. Yang jelas mimpi hanyalah sepotong dari masa tidur yang kita jalani.

Selamat tahun baru 2024, semoga kita lebih baik.