Antroposentrisme Hukum Islam

Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag.

Beberapa waktu terakhir ini saya sering melayani mahasiswa dalam penulisan skripsi sebagai sumber data dalam wawancara, sebagian besar mereka adalah mahasiswa dari disiplin ilmu syariah. Setiap wawancara, saya menyempatkan waktu untuk menggali pemahaman dan wawasan mahasiswa tersebut tentang epistemologi hukum Islam. Kesan saya masih banyak mahasiswa yang memahami hukum Islam sebagai produk teosentris. Mereka belum begitu sadar bahwa hukum Islam  juga dihasilkan dari model berpikir antroposentris, sebagian pengkaji menyebutnya teoantroposentrisme karena peran manusia dalam penetapan hukum tetap terpaut dengan aspek teologis. Apapun penyebutannya, manusia dengan segala lingkup kehidupannya tetap berperan  besar menjadi alasan dalam penentuan suatu hukum dalam Islam.

Memang hukum Islam pada mulanya bersifat teosentris, jabari, dan literal. Akan tetapi, pada saat Islam bersentuhan dengan peradaban asing yang pada abad ke-7 dimulai dengan Persia di timur dan Bizantium di Barat, hukum Islam  “terpaksa” mempertimbangkan aspek antroposentrisme sebagai pijakan kedua dalam penetapan hukum. Kaidah “al-hukm yaduur ma’ al ‘illah wujudan wa adaman” dan “tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa al-zminah wa al-ahwal wa al-‘awaid” adalah sebagian dari bukti antroposentrisme dalam hukum Islam. Dalam perkembangan berikutnya, lahirlah qawa’id fiqhiyyah (teori hukum). Qawa’id  ini tidak lain adalah formula penetapan hukum yang disusun oleh ulama (manusia) sebagai “perpanjangan tangan” Tuhan sepanjang kemampuan nalar rasional manusia. Dr. H. Abdul Mun’im Saleh, M.Ag saat melakukan kajian terhadap al-Qawa’id al-Fiqhiyyah yang kemudian diterbitkan menjadi buku, dia beri judul “Hukum Manusia  sebagai Hukum Tuhan, Berpikir Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model al-Qawa’id al-Fiqhiyyah”.

Kajian al-Qawa’id al-Fiqhiyyah dalam sejarah pemikiran fikih tampaknya merupakan terobosan awal yang lebih sistematis untuk langkah afirmatif terhadap model antroposentrisme dalam hukum Islam. Termasyhur tiga ulama besar telah menulis al-Qawa’d al-Fiqhiyyah dengan judul kitab yang sama “Al-Asybah wa an-Naza’ir” oleh As-Subki (w. 756 H), As-Suyuthi (w. 911 H), dan Ibnu Nujaim (w. 970H).

Benarkah hukum Islam bersifat teosentris saat wahyu masih turun? Tampaknya tidak juga. Ada beberapa peristiwa hukum zaman Nabi yang keputusannya  melibatkan energi pikiran (ijtihad) para sahabat. Misalnya asbab nuzul  ayat 67-68 surah al-Anfaal. Dalam Tafsir Ibnu Katsir diuraikan tentang ayat tersebut :

قال الإمام أحمد: حدثنا علي بن عاصم، عن حميد، عن أنس، رضي الله عنه، قال: استشار رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس في الأسارى يوم بدر، فقال: “إن الله قد أمكنكم منهم” فقام عمر بن الخطاب فقال: يا رسول الله، اضرب أعناقهم. فأعرض عنه النبي صلى الله عليه وسلم، ثم عاد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “يا أيها الناس، إن الله قد أمكنكم منهم، وإنما هم إخوانكم بالأمس”. فقام عمر فقال: يا رسول الله، اضرب أعناقهم. فأعرض عنه النبي صلى الله عليه وسلم، ثم عاد النبي صلى الله عليه وسلم فقال للناس مثل ذلك، فقام أبو بكر الصديق، رضي الله عنه، فقال: يا رسول الله، نرى أن تعفو عنهم، وأن تقبل منهم الفداء. قال: فذهب عن وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم ما كان فيه من الغم، فعفا عنهم، وقبل منهم الفداء. قال: وأنزل الله، عز وجل : { لَوْلا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ } الآية

Dalam uraian Ibnu Katsir tersebut nampaklah bahwa pada mulanya Rasulullah mengamini pendapat Abu Bakar yang lentur dalam menyikapi tawanan perang Badar. Abu Bakar dipuji Nabi bagaikan Nabi Ibrahim yang berkata فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌرَحِيمٌ. Namun, Allah mengamini pendapat Umar yang tegas dan terukur dalam menyikapi penyerang dari Mekkah (pasukan perang Badar) dengan menurunkan dua ayat tersebut. Umar  diibaratkan oleh Nabi seperti Nabi Nuh yang berkata dalam doa untuk musuh-musuhnya رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا.

Setelah Rasulullah wafat, semakin banyak masalah sosial dan keumatan yang tidak tercover nash dan dengan demikian ijtihad teosentris tidak dapat dijalankan. Satu contoh yang sangat nyata adalah soal suksesi kepemimpinan pasca Rasulullah. Proses terpilihnya Abu Bakar (namanya Abdullah) sebagai khalifah pertama adalah melalui pertimbangan situasional saat itu (antroposentris). Di samping dia sebagai pemuka Quraisy, kelompok pertama yang membela Rasulullah, senior, kaya dan dermawan, hingga pernah  ditunjuk Nabi menjadi imam menggantikan Beliau saat sakit, Abu Bakar didaulat menjadi pemimpin Negara pasca Rasullah.  …. Bersambung.